Makalah : “Perkembangan Surveilans di Indonesia Khusus Penyakit Menular”
Makalah
Surveilans Kesehatan Masyarakat
“Perkembangan Surveilans di
Indonesia Khusus Penyakit Menular”
Disusun oleh Mahasiswa Semester 6
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Muhammadiyah Bengkulu
Tahun 2018
BAB I
PENDAHULUAN
Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan
serta kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif
dan efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran
informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Pada awalnya surveilans epidemiologi banyak dimanfaatkan pada upaya
pemberantasan penyakit menular, tetapi pada saat ini surveilans mutlak
diperlukan pada setiap upaya kesehatan masyarakat, baik upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, maupun terhadap upaya kesehatan lainnya.
Pelaporan Penyakit Menular hanya salah satu bagian saja namun yang
paling penting dari suatu sistem surveilans
kesehatan masyarakat. Bertambahnya jumlah penduduk dan overcrowding mempercepat
terjadinya penularan penyakit dari orang ke orang. Faktor pertumbuhan dan
mobilitas penduduk ini juga memperngaruhi perubahan gambaran Epidemiologis
serta virulensi dari penyakit menular tertentu.
Rumusan masalah pada makalah ini antara lain yaitu :
1.
Apa yang dimaksud dengan
surveilans ?
2.
Bagaimana surveilans terhadap
penyakit menular ?
3.
Bagaimana perkembangan
surveilans penyakit menular di Indonesia ?
Tujuan dari
makalah ini antara lain yaitu :
1.
Untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan surveilans.
2.
Untuk mengetahui bagaimana
surveilans terhadap penyakit menular.
3.
Untuk mnegetahui bagaimana
perkembangan surveilans penyakit menular di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan
serta kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif
dan efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran
informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. (Syafrudin, 2015)
Menurut WHO surveilans adalah proses pengumpulan,
pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus
serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil
tindakan. (Syafrudin, 2015)
Menurut Karyadi (1994), surveilans epidemiologi adalah
pengumpulan data epidemiologi yang akan digunakan sebagai dasar dari
kegiatan-kegiatan dalam bidang pengnggulangan penyakit yaitu : (Syafrudin,
2015)
1)
Perencanaan program pemberantasan penyakit.
2)
Evaluasi program pemberantasan penyakit.
3)
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) / wabah.
Detels (1989) mengemukakan enam unsur kunci surveilans,
yaitu : Pengumpulan data kesehatan secara jelas, pengumpulan data yang terus
menerus, analisis sewaktu-waktu, diseminasi hasil, bertindak berdasarkan hasil,
serta evaluasi periodik dan sistem.
(Syafrudin, 2015)
Surveilans kesehatan masyarakat adalah proses pengumpulan data
kesehatan yang mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik,
tetapi juga melibatkan analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi
kesehatan. Hasil surveilans dan pengumpulan serta analisis data digunakan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang status kesehatan populasi guna
merencanakan, menerapkan, mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan
masyarakat untuk mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan.
Dengan demikian, agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan
tersedia dalam bentuk yang dapat digunakan.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah
pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terusmenerus dan
sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak
yang bertanggungjawab
dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Surveilans memantau terus-menerus kejadian
dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi,
mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit,
seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir.
Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat
keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
penyakit.
Secara umum surveilans bertujuan untuk pencegahan dan pengendalian
penyakit dalam masyarakat sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan
terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi
perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada
berbagai tingkat administrasi. (Depkes RI,
2004)
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang
masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi
dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan
khusus surveilans, antara lain:
a. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit.
b. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi
dini outbreak.
c. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease
burden) pada populasi.
d. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan.
e. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan.
f.
Mengidentifikasi
kebutuhan riset.
Pada awalnya surveilans epidemiologi banyak
dimanfaatkan pada upaya pemberantasan penyakit menular, tetapi pada saat ini
surveilans mutlak diperlukan pada setiap upaya kesehatan masyarakat hak upaya
pencegahan maupun pemberantasan penyakit menular maupun tidak menular. Manfaat surveilans kesehatan masyarakat
yaitu sebagai berikut :
a. Dapat menjelaskan pola penyakit yang sedang berlangsung yang dapat
dikaitkan dengan tindakantindakan/intervensi kesehatan masyarakat. Dalam rangka
menguraikan pola kejadian penyakit yang sedang berlangsung, contoh kegiatan
yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1)
Deteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya.
2)
Identifikasi dan perhitungan trend
dan pola penyakit.
3)
Identifikasi dan faktor risiko dan penyebab lainnya, seperti vektor
yang dapat menyebabkan sakit dikemudian hari.
4) Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi.
b. Dapat melakukan
monitoring kecenderungan penyakit endemis. Ada 4 ( empat ) Keadaan Masalah
Kesehatan yaitu :
1) Epidemi adalah Keadaan dimana suatu masalah kesehatan yang
ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam
frekuensi yang meningkat.
2) Pandemi adalah Suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan yang
ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat memperlihatkan
peningkatan yang amat tinggi serta penyebarannya telah mencakup suatu wilayah
yang amat luas.
3) Endemi adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan yang
frekuensinya pada suatu wilayah tertentu menetap dalam waktu yang lama.
4) Sporadik adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan yang
ada di suatu wilayah tertentu frekwensinya berubah – ubah menurut perubahan
waktu.
c. Dapat
mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologi penyakit, khususnya
untuk mendeteksi adanya KLB atau wabah. Melalui pemahaman riwayat penyakit,
dapat bermanfaat sebagai berikut :
1)
Membantu menyusun hipotesis untuk dasar
pengambilan keputusan dalam intervensi kesehatan masyarakat.
2)
Membantu untuk mengidentifikasi penyakit untuk keperluan penelitian
epidemiologi.
3) Mengevaluasi program-program pencegahan dan pengendalian penyakit.
d.
Memberikan informasi dan data dasar untuk
memproyeksikan kebutuhan pelayanan kesehatan dimasa mendatang. Data dasar sangat penting untuk menyusun
perencanaan dan untuk mengevaluasi hasil akhir intervensi yang diberikan.
Dengan semakin kompleksnya pengambilan keputusan dalam bidang kesehatan
masyarakat, maka diperlukan data yang cukup handal untuk mendeteksi adanya
perubahan-perubahan yang sistematis
dan dapat dibuktikan dengan data (angka).
e.
Dapat membantu pelaksanaan dan daya guna program pengendalian khusus dengan
membandingkan besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan program.
f.
Membantu menetapkan masalah kesehatan dan prioritas
sasaran program pada tahap perencanaan program. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam membuat prioritas masalah dalam kegiatan surveilans adalah :
1)
Frekuensi kejadian (insidens, prevalensdan
mortalitas).
2)
Kegawatan/ Severity (CFR, hospitalization rate,
angka kecacatan).
3)
Biaya
(biaya langsung dan tidak langsung).
4)
Dapat dicegah (preventability).
5)
Dapat dikomunikasikan (communicability).
6)
Public interest
g.
Mengidentifikasi kelompok risiko tinggi menurut umur,
pekerjaan, tempat tinggal dimana masalah kesehatan sering terjadi dan variasi
terjadinya dari waktu ke waktu (musiman, dari tahun ke tahun), dan cara serta
dinamika penularan penyakit menular.
Prioritas sasaran
penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit menular adalah : (Kepmenkes RI, 2003)
a.
Surveilans
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
b.
Surveilans
AFP
c.
Surveilans
penyakit potensial wabah atau kejadian luar biasa penyakit menular dan
keracunan
d.
Surveilans
penyakit demam berdarah dan demam berdarah dengue
e.
Surveilans
malaria
f.
Surveilans
penyakit-penyakit zoonosis, antraks, rabies, leptospirosis dan sebagainya
g.
Surveilans
penyakit filariasis
h.
Surveilans
penyakit tuberkulosis
i.
Surveilans
penyakit diare, tipus perut, kecacingan dan penyakit perut lainnya
j.
Surveilans
penyakit kusta
k.
Surveilans
penyakit frambosia
l.
Surveilans
penyakit HIV/AIDS
m. Surveilans penyakit menular seksual
n.
Surveilans
penyakit pnemonia, termasuk penyakit pneumonia akut berat (severe acute
respiratory syndrome)
a.
Surveilans Pasif
Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases)
yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif,
relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan
melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan
surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi
kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena
tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu,
tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktupetugas
terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan
masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu
dibuat sederhana dan ringkas.
b.
Surveilans Aktif
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans
untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter
dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case
finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif,
lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang
memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans
aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
c.
Surveilans Sentinel
Surveilans sentinel adalah
melakukan pemantauan yang menjangkau lingkup yang luas dengan hanya berfokus
pada pemantauan terhadap indikatir kesehatan kunci pada keseluruhan populasi
atau hanya pada sebagian populasi. Ciri surveilans sentinel adalah mendapatkan
informasi yang dibutuhkan untuk tindakan kesehatan masyarakat tepat waktu
dengan cara yang relatif lebih murah daripada menggunakan dara insidens atau
prevalens. Alasannya adalah karena masalah kesehatan yang terjadi dimasyarakat
merupakan fenomena gunung es sehingga informasi kunci tentang masalah kesehatan
di masyarakat merupakan data penting. Surveilans sentinel digunakan sebagai
indikator kesehatan kunci karena mempunyai asumsi bahwa :
1) Kejadian kesehatan : kejadian penyakit, kecacatan
atau kematian yang dapat menjadi tanda penting bahwa upaya preventif atau
pengobatan yang sedang dijalankan perlu melakukan perbaikan kembali.
2) Surveilans sentinel : suatu sistem yang dapat memeprkirakan insidens penyakit
pada suatu negar yang tidak memiliki sistem surveilans yang baik berbasis
populasi tanpa melakukan survei yang mahal.
Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan
(berpindah daru orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun
melalui perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya (hadirnya) agent
atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah. Suatu penyakit dapat
menular karena tiga faktor, yitu agent (penyebab penyakit), host
(induk semang), dan route oftransmission (jalannya penularan).
(Notoatmodjo, 2011)
Banyak kuman penyakit, seperti bakteri, parasit, virus,
atau jamur dapat hidup dan berkembang dalam tubuh kita. Meskipun tubuh kita
tidak terlalu memperhatikan hal ini, namun sebagian dari kuman-kuman tersebut
dapat merusak kesehatan tubuh kita. Dalam beberapa kasus, kuman-kuman tersebut
tidak puas hanya merusak tubuh inangnya saja, tetapi juga mencari kesempatan
untuk menularkannya kepada tubuh inang lainnya. Hal seperti ini dinamakan
penyakit menular.
Ada banyak jenis penyakit menular di dunia ini dan jutaan
orang tertular karenanya. Contoh paling jelas adalah Salmonella, yaitu bakteri
yang berasal dari makanan dan dapat menyebabkan penyakit menular. Menurut
catatan Pusat Penyakit Menular Dunia, pada tahun 2012 saja terdapat 53,800
kasus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella.
Beberapa penyakit menular yang banyak ditemui adalah
tuberkulosis, malaria, dan AIDS. Penyakit menular ini telah menyebabkan lebih
dari lima juta kematian setiap tahunnya. Kematian karena penyakit menular
kebanyakan disebabkan penyakit tersebut tidak ditangani lebih cepat dan baru
mencari pengobatan saat kondisinya sudah terlalu parah.
Dengan pengobatan yang tepat dan cepat, hampir semua
penyakit menular dapat diobati. Contohnya adalah penyakit tuberkulosis yang
dulunya termasuk penyakit yang tidak dapat diobati. Namun, saat obat untuk
penyakit tuberkulosis ditemukan, jutaan nyawa di seluruh dunia
dapat diselamatkan, terutama jika pengobatan dilakukan secepat mungkin.
Saat kini, sangatlah mudah tertular oleh berbagai jenis
penyakit karena penyakit-penyakit ini dapat menyebar dengan berbagai cara.
Sebagian penyakit dapat menular melalui udara, dan sebagian lagi menular lewat
cairan tubuh.Di bawah ini adalah beberapa cara bagaimana
umumnya suatu penyakit dapat menular kepada orang lain :
a.
Penularan lewat udara
b.
Kontak langsung dengan orang yang sudah terinfeksi
c.
Penularan lewat kulit
d.
Penularan lewat air liur
e.
Penularan lewat urin
f.
Penularan lewat hubungan seksual
g.
Makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi
h.
Penularan melalui sekresi darah dan lainnya
Makhluk hidup sebagai pemegang peranan penting dalam
epidemiologi yang merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi :
(Notoatmodjo, 2011)
a.
Golongan virus (influenza, trachoma, cacar dan
sebagainya)
b.
Golongan riketsia (tifus)
c.
Golongan bakteri (disentri)
d.
Golongan protozoa (malaria, filaria, schistosoma,
dan sebagainya)
e.
Golongan jamur (panu, kurap dan sebagainya)
f.
Golongan cacing (bermacam-macam cacing perut seperti ascaris
(cacing gelang), cacing kremi, cacing pita, cacing tambang, dan sebagainya)
Agar agent atau penyebab penyakit menular ini tetap
hidup, maka perlu persyaratan-persyaratan sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2011)
a.
Berkembang biak
b.
Bergerak atau berpindah dari induk semang
c.
Mencapai induk semang baru
d.
Menginfeksi induk semang baru tersebut
Kemampuan agent penyakit ini untuk tetap hidup
pada lingkungan manusia adalah sutu faktor penting dalam epidemiologi infeksi.
Setiap bibit penyakit mampunyai habitat sendiri-sendiri, sehingga ia dapat
tetap hidup. Dari sini timbul istilah reservoir, reservoir dapat
berupa manusai, binatang atau benda-benda mati. Reservoir yang diartikan
sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2011)
a.
Habitat, tempat bibit penyakit tersebut hidup dan
berkembang.
b.
Survival, tempat bibit penyakit tersebut sangat
tergantung pada habitat, sehinga ia dapat tetap hidup.
Penyakit-penyakit yang menjadi reservoir dalam
tubuh manusia antara lain campak (measles), cacar air (small pox),
tifus (typhoid), meningitis, gonorrhoea, dan sifilis. Manusia
sebagai reservoir dapat menjadi kasus yang aktif dan carrier. (Notoatmodjo,
2011)
Carrier adalah oran gyang
mempunyai bibit penyakit dalam tubuhnya,tanpa menunjukkan adanya gejala
penyakit, tetapi orang tersebut dapat menularkan penykitnya kepada orang lain. Convalescant
Carriers adalah orang yang masih mengandung bibit penyakit setelah sembuh
dari suatu penyakit. (Notoatmodjo, 2011)
Carriers adalah sangat penting dalam epidemiologi
penyakit-penyakit polio, tifus, meningococal meningitis dan amebiasis.
Hal ini disebabkan karena : (Notoatmodjo, 2011)
a.
Jumlah (banyaknya carriers jauh lebih banyak daripada
orang yang sakit)
b.
Carriers maupun
orang yang ditulari sama sekali tidak tahu bahwa mereka menderita/terkena
penyakit.
c.
Carriers
tidak menurunkan kesehatannya karena masih dapat melakukan pekerjaan
sehari-hari.
d.
Carriers
mungkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang relatif lama.
Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir pada
binatang umumnya adalah penyakir zoonosis. Zoonosis adalah penyakit pada binatang vertebrata yang
dapat menular pada manusia. Penularan penyakit-penyakit pada binatang ini
tertular melalaui berbagai cara, yakni : (Notoatmodjo, 2011)
a.
Orang makan daging binatang yang menderita penyakit,
misalnya cacing pita.
b.
Melalui gigitan
binatang sebagai vektornya, misalnya pes melalui gigitan tikus, malaria,
filariasis, demam berdarah melalui gigitan nyamuk.
c.
Binatang penderita penyakit langsung menggigit orang,
misalnya rabies.
Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir pada
benda-benda mati pada dasarnya adalah saprofit hidup dalam tanah. Pada umumnya
bibit penyakit ini berkembang biak pada lingkungan yang cocok untuknya. Oleh
karean itu, bila terjadi perubahan temperatur atau kelembapan dari kondisi
dimana ia hidup, maka berkembang biak dan siap infeksif. Contoh Clostardium
tetani penyebab tetanus, C. Otulinum penyebab keracunan makanan, dan
sebagainya.
Yang dimaksud sumber infeksi aalah semua benda, termasuk
orang atau binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada orang. Sumber penyakit
ini mencakup juga reservoir. Mode penularan adalah suatu mekanisme
dimana agent penyebab penyakit tersebut ditularkan dari
orang ke orang lain, atau dari reservoir kepada induk semang baru.
Penularan ini melalui berbagai cara antara lain : (Notoatmodjo, 2011)
a. Kontak (contact)
Kontak di sini dapat terjadi kontak langsung maupun
kontak tidak langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi.
Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung ini pada umumnya
terjadi pada masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena itu, lebih cenderung
terjadi di kota daripada di desa yang penduduknya jarang.
b. Pernapasan (inhalation)
Yaitu penularan melalui udara/pernapasan. Oleh karena
itu, ventilasi rumah yang kurang, berjejelan (over crowding), dan
tempat-tempat umum adalah faktor yang sangat penting dalam epidemiologi
penyakit ini. Penyakti yang ditularkan melalui udara ini sering disebut ‘air
borne infection’ (penyakit yang ditularkan melalui udara).
c. Infeksi melalui makanan atau minuman
Penyakit-penyakit ini sering juga disebut “food borne
diseases” atau ”water borne diseases” penularan melalui tangan,
makanan atau minuman.
d. Penetrasi pada kulit
Hal ini dapat langsung oleh organisme it sendiri.
Penetrasi pada kulit misalnya cacing tambang melalui gigitan vektor, misalnya
malaria atau melalui luka. Mislanya tetanus.
e. Infeksi melalui plasenta
Yakni infeksi yang diperoleh mellaui plasenta dari ibu
penderita penyakit pada waktu mengandung, misalnya sifilis dan toxoplasmosis.
Untuk pencegahan dan penanggulangan ini ada tiga
pendekatan atau cara yang dapat dilakukan, antara lain : (Notoatmodjo, 2011)
a.
Eliminasi Reservoir (sumber penyakit)
1)
Mengisolasi penderita (pasien), yaitu menempatkan pasien
di tempat ysng khusus untuk mengurangi kontak dengan orang lain.
2)
Karantina, adalah membatasi ruang gerak penderita dan
menempatkannya bersama-sama penderita lain yang sejenis pada tempat yang khusus
didesain untuk itu. Biasanya dalam waktu yang lama, misalnya karantina untuk
penderita kusta.
b.
Memutus Mata Rantai Penularan
Meningkatkan
sanitasi lingkungn dan higiene perorangan merupakan usaha yang penting
untuk memutuskan hubungan atau mata rantai penularan penyakit menular.
c.
Melindungi Orang-Orang (Kelompok) yang Rentan
Bayi,
anak bali, dan lanjut usia merupakan kelompok usia yang rentan terhadap
penyakit menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu perlindungan khusus
dengan imunisasi, baik imunisasi aktif maupun pasif. Obat-obat prophylacsis
tertentu juga dapat mencegah penyakit malaria, meninitis dan disentri baskilus.
Pada
anak usia muda, gizi kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak tersebut.
Oleh sebab itu meningkatkan gizi anak merupakan usaha pencegahan penyakit
infeksi pada anak.
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa Pemerintah dan
pemerintah daerah dapat melaksanakan surveilans terhadap penyakit menular dan
tidak menular. Ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang
Sistem Kesehatan Nasional mengamanatkan agar pengelolaan kesehatan dilakukan
secara berjenjang mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat dengan
memperhatikan otonomi daerah dan otonomi fungsional di bidang kesehatan.
Otonomi fungsional dimaksudkan berdasarkan kemampuan dan ketersediaan sumber
daya di bidang kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan harus dilaksanakan di setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, instansi
kesehatan mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi dan instansi kesehatan
tingkat pusat. (Permenkes RI, 2014)
Fungsi
dasar Surveilans Kesehatan tidak hanya untuk kewaspadaan dini penyakit yang
berpotensi terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB), tetapi juga sebagai dasar perencanaan
dan pengambilan keputusan program kesehatan jangka menengah dan jangka panjang.
Untuk itu hendaknya pelaksanaan Surveilans Kesehatan mencakup seluruh
pelaksanaan program di bidang kesehatan yang membutuhkan pengamatan terus
menerus, analisis dan diseminasi informasi. Hal ini sejalan dengan kebutuhan
data dan informasi yang terpercaya dan mempunyai aspek kekinian. (Permenkes RI, 2014)
Surveilans
Kesehatan yang mengandalkan kecepatan, ketepatan dan kualitas data dan
informasi perlu menyesuaikan dengan kemajuan teknologi informasi. Namun
demikian prinsip epidemiologi dalam Surveilans Kesehatan tidak boleh
ditinggalkan. (Permenkes RI, 2014)
Perkembangan
dan akses media yang begitu luas dan cepat sampai ke pelosok desa dan daerah
terpencil memberikan kesempatan terhadap perubahan sistem surveilans kesehatan.
Pendekatan Surveilans Kesehatan berbasis kejadian di masyarakat telah
dikembangkan untuk mendapatkan data dan informasi dari berita yang direkam dan
dimuat di media massa, media sosial dan media online. Hal ini meningkatkan
sensivitas Surveilans Kesehatan untuk menangkap informasi dengan cakupan yang
luas dan cepat. (Permenkes RI, 2014)
Secara
umum Surveilans Kesehatan diperlukan untuk menjamin tersedianya data dan
informasi epidemiologi sebagai dasar pengambilan keputusan dalam manajemen
kesehatan. Dalam pelaksanaan Surveilans Kesehatan diperlukan harmonisasi secara
lintas program dan lintas sektor yang diperkuat dengan jejaring kerja
surveilans kesehatan. (Permenkes RI, 2014)
Penyakit menular
masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya
masalah penyakit tidak menular. Penyakit
menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular
memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya
antar propinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah
utama di Indonesia adalah diare, malaria,
demam berdarah dengue, influensa, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya.
(Kepmenkes RI, 2003)
Untuk melakukan
upaya pemberantasan penyakit menular, penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit dan
keracunan, serta penanggulangan penyakit
tidak menular diperlukan suatu sistem surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program
dalam daerah kerja Kabupaten/Kota,
Propinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dan sektor serta kerjasama antara
Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional dan internasional. (Kepmenkes RI, 2003)
Pada tahun 1987
telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST) berbasis data, Sistem Pencatatan
Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan
Sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPRS), yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Disamping
keberadaan SST telah juga dikembangkan
beberapa sistem Surveilans khusus penyakit Tuberkulosa, penyakit malaria, penyakit demam
berdarah, penyakit kusta dan lain sebagainya.
Sistem Surveilans tersebut perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan ketetapan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah; Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom; dan Keputusan Menteri Kesehatan No.1116/MENKES/SK/VIII/2003
tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan serta kebutuhan
informasi epidemiologi untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular dan penyakit tidak
menular. (Kepmenkes RI,
2003)
Prioritas
surveilans penyakit yang perlu dikembangkan adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit
yang potensial menimbulkan wabah
atau kejadian luar biasa, penyakit menular dan keracunan, demam berdarah dan demam berdarah dengue,
malaria, penyakit-penyakit zoonosis antara
lain antraks, rabies, leptospirosis, filariasis serta tuberkulosis, diare, tipus perut, kecacingan dan penyakit
perut lainnya, kusta, frambusia, penyakit
HIV/AIDS, penyakit menular seksual, pneumonia, termasuk penyakit pneumonia akut berat (severe acute
respiratory syndrome), hipertensi, stroke dan
penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, neoplasma, penyakit paru obstuksi menahun, gangguan mental dan
gangguan kesehatan akibat kecelakaan. (Kepmenkes RI, 2003)
Penyelenggaraan
surveilans epidemiologi terhadap penyakit-penyakit tersebut diatas disusun dalam pedoman
surveilans epidemiologi, khusus masing-masing
penyakit dan pedoman surveilans epidemiologi secara rutin dan terpadu. Untuk menyelenggarakan
surveilans epidemiologi penyakit menular
dan penyakit tidak menular secara rutin terpadu maka disusun Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
dan Penyakit Tidak Menular Terpadu yang selanjutnya disebut sebagai Surveilans Terpadu Penyakit
(STP). Sementara pedoman surveilans khusus
masing-masing penyakit disusun dalam pedoman terpisah dengan Keputusan Menteri Kesehatan. (Kepmenkes RI, 2003)
Surveilans
kasus lumpuh layuh akut (AFP) merupakan salah satu strategi dari eradikasi
polio, yaitu melakukan pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap
setiap kasus AFP. Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus
polio liar di suatu wilayah, sehingga dapat dilakukan mopping up atau
upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar agar tidak menyebar ke
wilayah yang lebih luas.
Surveilans
AFP harus dilaksanakan secara terus-menerus dengan kinerja surveilans
berkualitas tinggi. Virus polio liar terakhir diisolasi di Indonesia pada tahun
1995. Tahun 1997, kinerja surveilans AFP Indonesia dievaluasi tim internasional
di mana hasilnya dinyatakan baik. Tahun 1998, Indonesia dinyatakan sebagai
daerah recently non endemic.
Namun,
krisis ekonomi serta konflik sosial politik dan transisi desentralisasi sistem
pemerintahan menurunkan kinerja surveilans AFP. Pada gilirannya, kemampuan
untuk mendeteksi kemungkinan importasi virus polio liar ke wilayah Indonesia
menjadi lemah.
Tahun
1960-an, Indonesia dikenal sebagai negara endemis tinggi cacar. Surveilans
epidemiologi diterapkan sebagai dasar strategi pembasmian cacar pada tahun
1968. Strategi yang disebut surveillance containment action, atau upaya
pembatasan kasus melalui surveilans tersebut, terdiri atas deteksi kasus secara
dini lewat pencarian secara aktif serta penelusuran kasus ke belakang dan ke
depan (mencari kasus yang ada sebelum maupun sesudah kasus yang ditemukan).
Selanjutnya,
dilakukan vaksinasi pada radius 100 meter dari tempat kasus ditemukan/letusan
(ring vaccination), dan kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan teratur di
tempat letusan sampai dua minggu sesudah kasus terakhir sembuh.
Dengan
cara ini, setiap kasus atau letusan segera diketahui dan diatasi. Hasilnya,
jumlah kasus dan provinsi yang terjangkit menurun pada tahun 1970, dan sejak
Januari 1972 tidak ada lagi laporan adanya penderita cacar. Dua tahun kemudian,
25 April 1974, Indonesia dinyatakan sebagai negara bebas cacar, setelah
dievaluasi komisi independen yang diorganisasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO).
Masalah
yang dihadapi dalam eradikasi polio lebih rumit. Harus dibuktikan tidak ada
kasus selama tiga tahun lewat surveilans yang baik. Padahal, sejak tahun 1999
kinerja surveilans AFP melemah. Di sisi lain, ada ancaman importasi virus polio
liar dari negara lain yang belum bebas polio, risiko sirkulasi Sabin derived
vaccine virus, yaitu turunan virus dari vaksin yang bereplikasi pada individu
yang imunitas tubuhnya lemah atau pada populasi yang cakupan imunisasinya
rendah. Indonesia juga berbatasan dengan negara yang kinerja surveilansnya
tidak diketahui, yaitu Timor Lorosae. Selain itu, di India masih diidentifikasi
adanya virus polio liar pada Mei-Juni 2002.
Untuk
memastikan apakah Indonesia bebas polio, telah dilakukan Pekan Imunisasi
Nasional (PIN). Mulai tahun 2002, Departemen Kesehatan (Depkes) merekrut tenaga
khusus surveillance officer untuk mengatasi penurunan kinerja surveilans AFP,
baik di provinsi maupun di pusat, dengan dukungan tenaga dan biaya dari WHO.
Seluruh
Dunia telah mengeluarkan kesepakatan untuk mencapai Eradikasi Polio pada tahun 2000 dengan
strategi sebagai berikut :
a. Imunisasi Polio
Rutin dengan cakupan yang tinggi dan merata sampai ke Desa-desa.
b. Imunisiasi
Suplement / tambahan ( PIN, Sub PIN, Mop Up, ORI, Bias Polio ).
c. Surveilans
Acute Flacced Paralysis. ( AFP ).
d. Pengamanan
Virus Polio di Laboratorium.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang
mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan
darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis
seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan air laut. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya seperti Bidan dan Pak
Mantri seringkali salah dalam penegakkan diagnosa, karena kecenderungan gejala
awal yang menyerupai penyakit lain seperti Flu dan Tifus.
Di Indonesia Penyakit DBD pertama kali
ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar keseluruh propinsi
di Indonesia. Timbulnya penyakit DBD disebabkan adanya korelasi antara
strain dan genetik, tetapi akhir-akhir ini agen penyebab DBD disetiap daerah
berbeda. Hal ini kemungkinan adanya faktor geografik, selain faktor genetik
dari hospesnya. Selain itu berdasarkan macam manifestasi klinik yang timbul dan
tatalaksana DBD secara konvensional sudah berubah.
Penyakit
demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sering
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai
perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian
dalam waktu singkat.
Prediksi
kejadian demam berdarah dengue di suatu wilayah, selama ini dilakukan
berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimal-minimal
dan siklus 3-5 tahun sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Indonesia sehat
tahun 2010 difokuskan pada preventif yaitu pencegahan preventif yang
diaplikasikan di masyarakat belum dilaksanakan dengan benar. Diantaranya adalah
wabah penyakit demam berdarah atau DBD. Sampai saat ini di tiap pelosok baik
kota maupun desa selalu ada kematian yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
Secara
umum 2,5 sampai 3 milyar orang beresiko terserang penyakit DBD, Aedes
aegypti merupakan vektor epidemi utama penyebaran penyakit ini, diperkirakan
terdapat 50 sampai 100 juta kasus per tahun, 500.000 kasus menuntut perawatan
di Rumah Sakit, dan 90 % menyerang anak-anak dibawah 15 tahun, rata-rata angka
kematian (Case Fatality Rate/CFR ) mencapai 5 %, secara epidemis
bersifat siklis (terulang pada jangka waktu tertentu), dan belum ditemukan
vaksin pencegahnya.
Surveilans
epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung
pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada
kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD. Demam
berdarah dengue (DBD) telah menjadi momok dalam masyarakat Indonesia dalam
kurun waktu yang sangat lama. Menurut WHO, surveilans adalah proses
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan
terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk
dapat mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu di kembangkan suatu definisi
surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian
epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan
pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
BAB III
PENUTUP
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan
serta kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif
dan efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran
informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah dapat melaksanakan surveilans terhadap
penyakit menular dan tidak menular. Ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor
72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional mengamanatkan agar pengelolaan
kesehatan dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat daerah sampai tingkat
pusat dengan memperhatikan otonomi daerah dan otonomi fungsional di bidang
kesehatan. Otonomi fungsional dimaksudkan berdasarkan kemampuan dan
ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa
penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus dilaksanakan di setiap Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, instansi kesehatan mulai dari tingkat kabupaten/kota,
propinsi dan instansi kesehatan tingkat pusat.
Penyakit
menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya
masalah penyakit tidak menular. Penyakit
menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular
memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya
antar propinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah
utama di Indonesia adalah diare, malaria,
demam berdarah dengue, influenza,
tifus abdominalis, penyakit saluran
pencernaan dan penyakit lainnya.
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan, karena keterbatasan sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari
makalah ini masih bersifat umum, oleh karena itu kami harapkan agar pembaca
bisa mecari sumber yang lain guna membandingkan dengan pembahasan yang kami buat, guna mengoreksi
bila terjadi kelasahan dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Sejarah Perkembangan Surveilans AFP. https://surveilansmaros.wordpress.com/2011/02/23/sejarah-perkembangan-surveilans-afp/ . Diakses pada
tanggal 10 April 2018.
Anonim.
2016. Apa itu Penyakit Menular : Definisi dan Gambaran Umum. https://www.docdoc.com/id/info/specialty/penyakit-menular/ . Diakses pada
tanggal 10 April 2018.
Darmawan, Nursan. 2015. Makalah Surveilans.
http://nursandarmawan.blogspot.co.id/2015/04/makalah-surveilans.html . Diakses pada tanggal 10
April 2018.
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. http://pdk3mi.org/file/download/KMK%20No.%201116%20ttg%20Pedoman%20Penyelenggaraan%20Sistem%20Surveilans%20Epidemiologi%20Kesehatan.pdf . Diakses [ada tanggal 15 April 2018.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit
Menular Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu. http://pdk3mi.org/file/download/KMK%20No.%201479%20ttg%20Pedoman%20Peneyelenggaraan%20Sistem%20Surveilans%20Epidemiologi%20Penyakit%20Menular%20Dan%20Pen.pdf . Diakses pada
tanggal 10 April 2018.
Najmah. 2015. Epidemiologi untuk Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat
: Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. http://www.aidsindonesia.or.id/uploads/20141001102656.permenkes_ri_no_45_tahun_2014_tentang_penyelenggaraan_surveilans_kesehatan.pdf . Diakses pada tanggal 10 April 2018.
Syafrudin. 2015. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Jakarta : CV. Trans Info Media.
Komentar
Posting Komentar