Makalah : Aspek Klinis HIV/AIDS untuk Pengembangan Program HIV
Makalah Penanggulangan
PMS dan HIV/AIDS
“Aspek Klinis HIV/AIDS untuk
Pengembangan Program HIV”
Disusun Oleh Mahasiswa Semester 7
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Acquired imune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan
sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil
penularan. Penyakit ini disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV).
Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang
relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda banyak
negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang raltif efektif
untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan dunia.
Rumusan masalah
pada makalah ini yaitu :
1.
Apa saja tipe HIV ?
2.
Bagaimana perjalanan alamiah terkait dengan transmisi HIV
?
3.
Bagaimana modus penularan HIV ?
4.
Bagaimana perjalanan alamiah HIV/AIDS ?
5.
Apa perbedaan antara resiko dan kerentanan ?
Tujuan pada makalah
ini yaitu :
1.
Untuk mengetahui apa saja tipe HIV.
2.
Untuk mengetahui bagaimana perjalanan alamiah terkait
dengan transmisi HIV.
3.
Untuk mengetahui bagaimana modus penularan HIV.
4.
Untuk mengetahui bagaimana perjalanan alamiah HIV/AIDS.
5.
Untuk mengetahui apa perbedaan antara resiko dan
kerentanan.
BAB II
PEMBAHASAN
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus.
Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk
membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti
retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang
panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan meunculnya tanda dan gejala
AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal
tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam
proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit. (Nursalam, 2011)
HIV (Human
Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik
yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili
Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama
infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi
lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV
dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa
infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome). (Nursalam, 2011)
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena
HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam
waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu
yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium
penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian
besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh
orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati. (Nursalam, 2011)
Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis retrovirus. Ada 2 (dua) tipe HIV yang dapat menyebabkan
AIDS, yakni HIV-1 dan HIV-2. Virus-virus ini secara serologis dan geografis
relatif berbeda tetapi mempunyai ciri epidemiologis yang sama. Patogenitas dari
HIV-2 lebih rendah dibanding HIV-1. (Kunoli, 2013)
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam
subtipe dari HIV-1 telah ditemukan dalam area geografis yang spesifik dan
kelompok spesifik resiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang
berbeda. Berikut subtipe HIV-1 dan distribusi geografisnya : (Kunoli, 2013)
1)
Sub tipe A : Afrika Tengah
2)
Sub tipe B : Amerika Selatan, Brazil, USA, Thailand
3)
Sub tipe C : Brazil, India, Afrika Selatan
4)
Sub tipe D : Afrika Tengah
5)
Sub tipe E : Thailand, Afrika Tengah
6)
Sub tipe F : Brazil, Rumania, Zaire
7)
Sub tipe G : Zaire, Gabon, Thailand
8)
Sub tipe H : Zaire, Gabon
9)
Sub tipe O : Kamerun, Gabon
Sub tipe C sekarang
ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru di seluruh dunia. (Kunoli, 2013)
Kedua spesies HIV yang
menginfeksi manusia (HIV-1 dan -2) pada mulanya berasal dari Afrika barat dan
tengah, berpindah dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal
sebagai zoonosis. HIV-1 merupakan hasil evolusi dari simian immunodeficiency
virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte
troglodyte. Sedangkan, HIV-2 merupakan spesies virus hasil evolusi strain
SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada Sooty mangabey, monyet dunia
lama Guinea-Bissau. Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh HIV-1
karena spesies virus ini lebih virulen dan lebih mudah menular dibandingkan
HIV-2. Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat. (Kunoli,
2013)
Pada tahun 1983, ilmuan Perancis Montagnier (Institude Pasteur, Paris)
mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus
HIV. Oleh sebab itu virus tersebut dinamakan lymphadenopathy associated
virus (LAV). Pada tahun 1984 Gallo (National Institute of Health, USA)
menemukan virus human T lymphotrropic virus (HTLV-III) yang juga
menyebabkan AIDS. (Widoyono, 2011)
Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan beberapa tipe HIV, yaitu HIV-1 yang
sering menyerang manusia dan HIV-2 yang ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV
termasuk subfamili Lentivirinae dari famili Retroviridae.
(Widoyono, 2011)
Asam nukleat dari famili retrovirus adalah RNA yang mampu membentuk DNA
dari RNA. Enzim transkriptase reversi menggunakan RNA virus sebagai ‘cetakan’
untuk membentuk DNA. DNA ini bergabung dengan kromosom induk (sel limfosit T4
dan makrofag) yang berfungsi sebagai pengganda virus HIV. (Widoyono, 2011)
Secara sederhana sel HIV terdiri dari : (Widoyono, 2011)
a.
Inti – RNA dan enzim transkriptase reversi
(polimerase), protase, dan integrase.
b.
Kapsid – antigen p24.
c.
Sampul (antigen p17 dan tonjolan
glikoprotein (gp120 dan gp41).
Waktu paruh
virus (virion half-life) berlangsung cepat. Sebagian besar virus akan
mati, tetapi karena awal infeksi, replikasi virus berjalan sangat cepat dan
terus-menerus. Dalam sehari sekitar 10 miliar virus dapat diproduksi. Replikasi
inilah yang menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh. Tingginya jumlah
virus dalam darah ditunjukkan dengan angka viral load, sedangkan tingkat
kerusakan sistem kekebalan tubuh ditunjukkan dengan angka CD4. (Widoyono, 2011)
Kuman penyebab AIDS dinamakan HIV-1, merupakan anggota subfamili
Lentivirinae dan memperlihatkan banyak gambaran fisikokimiawi yang khas dari
famili. Ciri khas morfologik HIV yang unik adalah nukleoid bentuk batang yang
diagnostik terlihat dalam mikrograf elektron pada partikel ekstraseluler
tersebut yang kebetulan teriris pada sudut yang sesuai. (Sastrawinata, 2008)
Lentivirus manusia memiliki genom yang unik dengan empat gen regulator,
meskipun berbagi gen-gen lain seperti pol, env, dan gag dengan
retrovirus lain. Sesuai dengan kesepakatan, nama gen-gen tersebut dicetak
miring, tetapi tidak untuk polipeptida yang dikode produk gen-gen tersebut.
Lentivirus lain yang juga penting adalah HIV-2, pertama diisolasi di Afrika,
ketika ia menyebabkan infeksi yang meluas tetapi lebih ringan dibanding HIV-1.
(Sastrawinata, 2008)
Retrovirus manusia lain, HLTV-I dan II diklasifikasikan dalam subfamili
yang berbeda karena struktur genom dan kemampuannya menyebabkan tumor lebih
besar dibandingkan imunosupresi. (Sastrawinata, 2008)
Perjalanan infeksi HIV yang khas menghabiskan waktu
sekitar satu dasawarsa. Stadium-stadium yang terjadi antara lain infeksi
primer, penyebaran virus ke organ-organ limfoid, masa laten klinik, timbulnya
ekspresi HIV, penyakit klinik, dan kematian. Lama waktu antara infeksi primer
dan perkembangan penyakit klinik rata-rata sekitar 10 tahun. Kematian biasanya
terjadi dalam 2 tahun setelah mulai timbul gejala klinik. (Sastrawinata, 2008)
Gambaran utama
infeksi HIV adalah penurunan limfosit yang menginduksi T helper akibat tropisme
HIV untuk populasi limfosit ini, yang
mengekspresikan penanda fonotopik CD4 pada permukaanya. Molekul CD4 merupsksn reseptor utama untuk HIV;
molekul ini memiliki afinitas tinggi
terhadap selubung virus. Infeksi
dapat di hambat melalui antibody monoclonal terhadap CD4 terlarut. Sub
sel monosit dan magrofag tertentu juga
mengekspresikan CD4, dan sel sel ini juga dapat brkaitan dan terinveksi HIV. (Sastrawinata, 2008)
Penurunan sel T
CD4 sirkulasi yang cepat selama asimpotomatik dari infesi HIV, tidak dapat
dijelaskan hanya melalui sitopatogenesis
virus secara langsung, karena pada saat itu, di darah tepi terjadi penurunan
kadar sel yang terinfeksi HIV. Mekanisme tidak langsing yang mungkin membantu
pelepasan sel termasuk juga penyatuan set, diperanarai oleh molekul HIV GP120
pada permukaan sel T terrinfeksi yang berikatan dengan molekul CD4 pada sel
yang tidak terinfeksi, diasingkan dan bereplikasi secara aktif dalam jaringan
limfoid. Lingkungan mikro kelenjar getah bening sangat ideal untuk penyebaran
dan menetapnya infeksi HIV. Sitokin dilepaskan, mengaktifasi sekumpulan besar
sek T CD4 yang sangat peka terhadap infeksi HIV. Saat ini
diperkirakan bahwa selama stadium awal penyakit, virus dalam jaringan limfoid
lebih banyak dari pada darah tepi, seiring dengan perkembangan penyakit HIV
kearah stadium lanjut, arsitektur kelenjar getah bening menjadi terganggu.
Degenerasi dan hilangnya fungsi perangkap virus ini dapat menakibatkan
pelepasan virus kedalam sirkulasi, menyababkan peningkatan viremiayang khas.
Menghasilkan sel multinuklasi (sinsitia). Sel T CD4 tidak terinfeksi yang dapat
berikatan bebas dengan GP120 dilepaskan dari sel sel lain dan kemudian dibunuh
oleh respon sitotoksitas seluler.
Kompleks GP120 dengan antibodi dapat berkaitan dengan molekul CD4; Hal
ini dapat menginduksi energy dan membuat sel tidak berespon terhadap sinyal
yang sesuai. Gangguan pada jalur mengendalai sel normal dapat meenginduksi
apoptosis (kematian sel yang
terprogram). (Sastrawinata, 2008)
Dampak dari
disfungsi sel T CD4 yang disebabkan HIV adalah ; pemusnah, karena limfosit T
CD4 memainkan peran penting dalam respin imun manusia. Secara langsung atau
tidak langsung hal ini mengakibatkan timbulnya fungsi sel limfoid dan non
limfoid secara luas. Efek ini antara lain aktifasi magrofag ; induksi fungsi sel
T sitotoksik, sel NK, dan sel B ; serta sekresi berbagai factor terlart yang
mengakibatkan pertumbuhan dan difernesiasi sel limfoid dan mempengaruhi sel
hematopoietik. (Sastrawinata, 2008)
Pasien AIDS juga
memperlihatkan fungsi abnormal sel B seperti yang dimanifstasikan melalui
aktifasi poliklonal, hipergamaglobulinemia, kompleks imun yang bersirkulasi,
dan auto antibodi. Sel B dan pasien terinfeksi HIV secara spontan dapat
mengeluarkan sitokin dalam kadar tinggi. Hiperaktifitas poliklonal anggota sel
B dan respon imun dapat disebabkan oleh factor lain, seperti Peningkatan kasus infeksi dengan EBV dan
CMV, keduanya merupakan aktifator sel B poliklonal. Meskipun terdapat
peningkatan responsivitas eseptor sel B dari individu ini, timbul juga respon
antibodidefisien terhadap antigen baru. Walaupun respon sel B bergantung dengan sel T dapat
abnormal sebagai akibat adanya disfungsi/cacat sel T CD4 helper, repon cacat
lain dapat timbul dari kelainan sel B. salah satu respon cacat adalah ketidakmampuan
meningkatkan respon lgM yang cukupterhadap tantangan antigenic; hal ini sering
menimbulkan penyakit fatal pada bayi dan anak yang terinfeksi HIV yang
sebelumnya tidak terpapar dengan berbagai bakteri patogenik dan harus
mengandalkan respon lgM awal untuk
pertahanan inang secara adekuat. Pasien dewasa juga memperlihatkan peningkatan
kerentanan terhadap bakteri patogenik (Sastrawinata, 2008)
Monosit dan
makrofak dapat berperan penting dalam penyebaran dan pathogenesis infeksi HIV,
sel fagositik ini dapat menelan virus, subsel monosit tertentu mengekspresikan
antigen permukaan CD4 karena itu dapat berikatan dengan selubung HIV. Namun HIV
tidak menimbulkan efefk sitipatik dalam monosit. Dalam otak, jenis sel utama yang terinfeksi HIV
tampaknya merupakan monosit makrofag, dn hal
ini dapat memberi koonsekuensi penting dalam perkembangan manifestasi
neuropsikiatrik yang berkaitan dengan infeksi Hiv. Makrofag aveolar paru paru
yang terinfeksi dapat berperan dalam pneumonitis yang ditemukan pada pasien
AIDS tertentu. (Sastrawinata, 2008)
Infeksi monosit
dengan HIV menunjukan bahwa monosit sebagai reservoir utama untuk HIV dalam
tubuh. Tidak seperti limfosit T CD4,
monofosit relative refakter terhadap efek sitopatik dan HIV, dengan demikian
virus tidak saja dapat bertaha hidup dalam sel tetapi dapat juga diangkut ke berbagai organ dalam tubuh.
Replikaasi terbatas, nonsitopatik dari HIV dalam monosit mengingatkan kita pada infeksi dengan lentivirus, dimana tidak terdapatpertahanan
imun yang efektif. Menetapnya HIV dalam monosit manusia sebagian dapat
menjelaskan ketidakmampuan respon imun spesifik HIV untuk membuuunuh virus
secara lengkap. (Sastrawinata, 2008)
Sekarang telah ditetapkan bahwa organ limfooid berperan
pentinag dalam infeksi HIV. Hal ini terjadi dalam organ limfoid yang membentuk
respon imun spesifik. Limfosit dalam darah tepi hanya memperhatikan sekitar 2%
dari kumpulan limfosit total, sisanya terutama berlokasi di organ limfoid.
Jaringan kerja sel dendritic folikuler pada pusat germinal kelenjar getah
bening menjerat antigen dan merangsang respon imun. Selama stadium masa laten
klinik, ketika kadar sel terinfeksi HIV dalam darah berjumlah minimal, HIV diasingkan dan bereplikasi secara aktif dalam jaringan
limfoid. Lingkungan mikro kelenjar getah bening sangat ideal untuk penyebaran
dan menetapnya infeksi HIV. Sitokon dilepaskan, mengaktifasi sekumoulan besar
sel T CD4 yang sangat peka terhadap infeksi HIV. Saat ini diperkirakan bahwa
selama stadium awal penyakit HIV, virus dalam jaringan limfoid lebih banyak
daripada darah tepi. Seiring dengan perkembangan penyakit HIV ke arah stadium
lanjut, arsitektur kelenjar getah bening menjadi terganggu. Degenerasi dan
hilangnya fungsi perangkap virus ini dapat mengakibatkan pelepasan virus ke
dalam sirkulasi, menyebabkan viremia yang khas. (Sastrawinata, 2008)
Kelainan neurologik merupakan hal yang
lazim pada AIDS
dan timbul dalam berbagai tingkat pada 90% pasien bentuknya antara lain
ensefalopati HIV, mielopati, neuropati, liver, dan paling serius, kompleks
dimensiia AIDS. Mekanisme ppatogenik secara langsung dan tidak langsung dapat
menjelaskan manifestasi neuropsikiatrik pada infeksi HIV. Jenis sel yang
menonjol dalam otak yang terinfeksi HIV adalah monosit makrofag. Virus memasuki
otak melalui monosit yag terinfeksi dan melepaskan sitokin yang bersifat toksik
terhadap sel saraf, demikian juga factor kemotaktik yang menyebabkan infiltrasi
otak dengan peradangan sel. HIV ditemukan dalam sel saraf oligodendrosit, dan
astrosit. Galaktosilseramida, glikolipid didtem sara f yang lazim, merupakan
reseptor alternative untuk GP 120 dan mungkin memperantarai masuknya HIV
kedalam sel glia. Produk virus, seperti GP120, mungkin mengakibatkan kerusakan
jaringan tanpa menginfeksi seluru sel. Ada dugaan bahwa GP 120 dapat
mengaktivasi makrofag, mikroglia, dan astrosit serta menyababkan pelepasan
sitokin dan neuro toksin yang mencedrai sel saraf di sekitarnya. (Sastrawinata, 2008)
Diperlukan sinyal aktivasi untuk menetapkan infeksi HIV
produktif. Pada individu yang terinfeksi HIV, terlihat rangsangan antigeneik
infifo yang luas yang bertindak sebagai aktifator seluler. Infeksi berbarengan
lain lain nya EBV, CMV, HSV, atau virus hepatitis B menimbulkan ekspresi virus
HIV dan dapat bertindak sebagai kofaktor terhadap AIDS. Terdapat prifalensi
infeksi CMV yang tinggi pada individu positif HIV. Kompleks antibodi-HIV dapat
menginfeksi sel infitro melalui reseptor untuk bagian FC dari immunoglobulin.
Infeksi melalui kompleks antibody-HIV yang diperentarai reseptor untuk FC,
bersifat tidak bergantung pada CD4. Infeksi sel-sel oleh herpes virus manusia,
seperti CMF dan HSV, Dapat menimbulkan ekspersi reseptor ini. Hal ini dapat
memungkinkan HIV untuk menginfeksi berbagai jenis sel. Sekali HIV memasuki sel
yang terinfeksi-CMV Melalui reseptor untuk Fc, replikasinya dapat ditingkatkan
melalui factor teraktifasi CMV.
(Sastrawinata, 2008)
HIV ditularkan melalui darah, cairan mani, dan vagina orang yang tertular.
Orang mengalami kontak dengan cairan-cairan ini melalui hubungan seks vaginal
dan anal (hubungan anal adalah dimasukkannya penis ke dalam lubang dubur, yaitu
cara penularan pada pria gay), transfusi dengan darah tercemar (dengan cara
inilah petenis Wimbledon terkenal Arthur Ashe terkena infeksi HIV),
transplantasi dengan organ atau jaringan terinfeksi, menggunakan jarum suntik
bekas (sering di kalangan pengguna obat suntik liar), atau secara tidak sengaja
tersuntik jarum bekas seseorang yang mengandung HIV (kadang-kadang dapat
terjadi pada petugas kesehatan). (Hutapea, 2014)
Sudah terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa HIV dapat pula ditularkan
melalui hubungan seks oral dengan kencan yang terinfeksi, baik pria maupun
wanita. Tetapi tidak mungkin tertular HIV secara seksual, jika Anda dan
pasangan tidak terinfeksi, apa pun yang dilakukan dalam hubungan seks. (Hutapea,
2014)
Lebih mungkin dan sering terjadi penularan dari pria ke wanita melalui hubungan
seks, daripada sebaliknya. Salah satu sebabnya adalah karena kuman HIV lebih
banyak ditemui dalam cairan semen daripada cairan vagina. Sebab lain adalah
bahwa mani yang tercemar HIV dapat tinggal di dalam vagina beberapa hari
setelah hubungan seks, sehingga memberi kesempatan yang lebih besar untuk
menularkan. Lagi pula agaknya sel-sel leher rahim sangat rentan terhadap infeksi HIV ini. Walaupun wanita
memikul resiko terinfeksi yang lebih besar dibandingkan pria melalui hubungan
seks, perlu diingat bahwa Magic Johnson mengaku tertular HIV dari seorang
wanita. (Hutapea, 2014)
Hubungan seks anal dianggap sebagai praktik seks paling beresiko, terutama
bagi orang yang menerima penis di dalam duburnya. Penis dapat menggores dan
merobek selaput lendir rektum, sehigga HIV dapat lebih lancar masuk dalam
peredaran darah. (Hutapea, 2014)
Penularan heteroseksual (dari pria ke wanita atau sebaliknya) dengan cara
bersetubuh, merupakan cara perpindaham HIV yang paling umum di daerah Afrika,
Karibia, dan beberapa bagian Amerika Selatan. Sekalipun lebih banyak gay
dibandingkan heteroseksual yang tertular HIV di Amerika Serikat, hubungan seks
antara wanita dan pria merupakan modus dari 75% kasus infeksi HIV di seluruh
dunia. Jumlah penularan dengan heteroseks di Amerika Serikat dan Kanada saat
ini semakin menigkat. (Hutapea, 2014)
Virus HIV menular melalui
enam cara penularan, yaitu : (Nursalam,
2011)
a. Hubungan seksual dengan
pengidap HIV/AID
Hubungan seksual secara
vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan
HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah
dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV
yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama nerhubungan
juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang menjadi
jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual. (Nursalam, 2011)
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu
bisa terjadi pada saat kehamilan. Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru
terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak
20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan
mencapai 50%. Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses melahirkan,
semakin beresiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat
dengan operasi sectio caesaria. Transmisi lain terjadi selama periode post
partum melalui Asi. Resiko bayi
tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%. (Nursalam, 2011)
c. Darah dan produk darah
yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan
HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. (Nursalam, 2011)
d. Pemakaian alat kesehatan
yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan
seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan
vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang
lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV. (Nursalam, 2011)
e. Alat-alat untuk menoreh
kulit
Alat tajam dan runcing
seperti jarum, pisau, silet, penyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut,
dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa
disterilkan terlebih dahulu. (Nursalam,
2011)
f. Menggunakan jarum suntik
secara bergantian
Jarum suntik yang
digunakan di fasilitas kesehatan, maupun digunakan oleh pengguna narkoba (Injecting
Drug User – IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik,
pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur,
pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan
HIV. (Nursalam, 2011)
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan,
toilet yang di pakai secara bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan,
hidup serumah dengan penderita HIV AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial
yang lain. (Nursalam, 2011)
Masa inkubasi virus HIV bervariasi, walaupun waktu dari penularan hingga
berkembang atau terdeteksinya antibodi, biasanya 1-3 bulan, namun waktu dari
tertular HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar < 1 tahun hingga15
tahun atau lebih. Tanpa pengobatan anti-HIV yang efektif, sekitar 50% dari
orang dewasa yang terinfeksi akan terkena AIDS dalam 10 tahun sesudah
terinfeksi. Median masa inkubasi pada anak-anak yang terinfeksi lebih pendek
dari orang dewasa. Bertambahnya ketersediaan terapi anti-HIV sejak pertengahan
tahun 90-an mengurangi perkembangan AIDS di AS dan di banyak negara berkembang
secara bermakna. (Kunoli, 2013)
Window Period selama 6-8 minggu, adalah
waktu saat tubuh sudah terinfeksi HIV tetapi belum terdeteksi oleh pemeriksaan
laboratorium. Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika
tidak di obati, maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS. (Kunoli,
2013)
Perjalanan
klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan
penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan
derajat keparahan infeksi oportunisik serta keganasan penyakit. Dari semua orang yang terinfeksi HIV,
sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah
sepuluh tahun, dan hampir
100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun. Perjalanan
klinis HIV/AIDS pada individu yang terinfeksi digambarkan pada gambar berikut :
(Nursalam, 2011)
Dalam tubuh
ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap
terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi. Kondisi ini dikenal dngan infeksi
primer. (Nursalam, 2011)
Infeksi primer
berkaitan denganperiode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh.
Pada fase awal infeksi (imunokompeten)
akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat
seluler (HLAA-DR; sel T; IL-22R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R) dan antibody upregulation (gp 120, anti p24; IgA)
(Hoffmann, Rocksrtoh, Kamps, 2006). Induksi sel T-helper dan sel-sel lain
diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel factor system imun agar tetap
berfungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberika induksi
kepada sel-sel efektor system imun. Dengan monosit dan sel B tidak
dapatberfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke
dalam stadium lebih lanjut.
Saat ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang
berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau
plasma per milliliter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering
menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejalan dari sindrom retroviral
akut ini meliputi : panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare,
berkeringat dimalam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tand adan
gejala tersebut biasanya terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang
atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza
atau infeksi mononucleosis. (Nursalam, 2011)
Selama infeksi
primer jumlah Limfosit CD4 dalam draah menurun dengan cepat. Target virus ini
adalah Linfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus
selama waktu tersebut, yang membuat individu terinfeksi HIV akan mungkin
terkena infeksi oportunistik dan membaasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T. tes antibody HIIV menggnakan enzyme linked imunoabsorbent assay (ELISA)
ynag menunjukkan hasil positif. (Nursalam, 2011)
Setetalah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala) Masa tanpa gejala
ini bias berlangsung selama 8-10 tahun . tetapi ada sekelompok orang yang
perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, da nada pula yang
perjalanan penyakitnya sangat lambat. (Nursalam, 2011)
Seiring dengan
makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi
oportunistik (penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Pada fase
ini disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV
ditemukan adanya factor supresif berupa antibody terhadap ploriferasi sel
T.adanya supresif pada ploriferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan
sekresi lomfokin. Sehingga sel T tidak mampu memebrikan respons terhadap
mitrogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan kadar penurunan CD4 ,
sitokin (IFNx; IL-2; IL6); antibody down regulation (gp 120; anti p-24); TNF
α ; antinef. (Nursalam, 2011)
Perjalanan
penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik
berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Infeksi oleh kuman
lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat mengakibatkan
reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bias lebih
progresif. (Nursalam, 2011)
Pembagian stadium : (Nursalam, 2011)
a. Stadium
Pertama : HIV
Infeksi
dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis ketika
antibody tehadap virus tersebut berubah dari negative menjadi positif. Rentang
waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody terhadap HIV menjadi
positif disebut window period. Lama window period antara satu sampai tiga
bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium
Kedua :
Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik
berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan
gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rerata selama 5-10 tahun. Cairan
tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada
orang lain.
c. Stadium
ketiga P
pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada
satu tempat saja, dan berlangsung lebih satu bulan.
d. Stadium
keempat : AIDS
Keadaan
ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit
konstitusional, penyakit syaraf, dan penyakit infeksi sekunder.
Gejalan klinis pada stadium AIDS
dibagi antara lain : (Nursalam, 2011)
a. Gejala
utama/mayor :
1) Demam
berkepanjangan lebih dari tiga bulan
2) Diare
kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
3) Penurunan
berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.
4) TBC
b. Gejala
minor :
1) Batuk
kronis selama lebih dari satu bulan
2) Infeksi
pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida
Albicans.
3) Pembengkakan
kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh.
4) Munculnya
Herpes zoster berulang dan
bercak-bercak gatal diseluruh tubuh
Infeksi HIV terjadi melalui beberapa tahapan : (Nursalam,
2011)
a. Periode Jendela (Window Periode)
Virus masuk kedalam tubuh dan berkembang. Pada tahap ini (3 bulan
pertama) jika kita melakukan tes, virus belum bisa terdeteksi. Tidak ada gejala
yang muncul tetap virus sudah bisa ditularkan ke orang lain.
b. Tanpa Gejala
Pada tahap ini HIV sudah dapat terdeteksi jika dilakukan tes HIV
tetapi dalam tahap ini belum menunjukkan gejala dan tampak sehat, tergantung
pada kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh
c. Muncul Gejala
Pada tahap ini muncul gejala-gejala seperti: demam berkepanjangan,
penurunan berat badan, diare terus menerus tanpa sebab yang jelas, batuk dan
sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus-menerus, kulit menjadi gatal dan
muncul bercak-bercak merah kebiruan. Gejala-gejala tersebut menunjukkan sudah
ada kerusakan pada system kekebalan tubuh.
d. AIDS
Pada tahap ini kekebalan tubuh sudah sangat menurun, sehingga
terserang berbagai penyakit, seperti: radang paru-paru (TBC/tuberculosis),
radang karena jamur di mulut dan kerongkongan, gangguan susunan saraf
(toxoplasmosis), kanker kulit, infeksi usus, dan infeksi lain.
Perilaku berisiko
tinggi
tertular HIV : (Hutapea, 2014)
a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam hubungan
seksual.
b. Wanita dan pria tuna susila, serta pelanggan mereka.
c. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar,
seperti hubungan seks melalui dubur (anal) dan mulut misalnya pada homo seksual
dan biseksual.
d. Penggunaan narkotika dengan suntikan, yang menngunakan jarum suntik
secara bersama (bergantian).
e. Penyalahgunaan narkotika dengan perilaku lainnya.
Kelompok Masyarakat yang
Paling Banyak Terkena Epidemi AIDS yaitu :
a. Pria Gay
Di Amerika Serikat, AIDS menghantam
komunitas pria gay dan terjadi terutama karena adanya hubungan seks peranal.
Komunitas di San Fransisco dan New York sangat terpukul hebat oleh wabah ini di
tahun-tahun 1980-an. Pada tahun-tahun belakangan ini, pria gay masih merupakan
separo dari kasus AIDS yang dilaporkan, akan tetapi laju infeksi di antara pria
yang berhubungn seks dengan sesama pria sudah menurun. Penurunan ini terutama
dengan dilakukannya praktik seks yang lebih aman, seperti menggunakan kondom.
(Hutapea, 2014)
Sebaliknya pada kalangan
lesbian, hanya terdapat beberapa kasus adanya penularan HIV dari wanita ke
wanita. Diduga penularan ini ditimbulkan karena hubungan seks oral atau
berciuman, sekalipun dugaan akan pola penularan ini masih bersifat spekulatif.
(Hutapea, 2014)
b. Pemakai Obat Suntik
Pada saat di mana kejadian
kasus baru AIDS di kalangan pria gay sudah mulai menurun, ternyata laju infeksi
di kalangan orang-orang yang menggunakan jarum suntik secara liar (kebanyakan
pria) semakin meningkat, dan para orang yang berhubungan seks dengan mereka
(kebanyakan wanita). Pemakai jarum suntik mencakup satu dari empat penderita
AIDS di Amerika Serikat. Obat yang paling sering digunakan adalah heroin dan
kokain, obat yang kurang populer di kalangan kampus. Alkohol adalah obat yang paling
populer di kalangan mahasiswa, tetapi alkohol diminum, bukan disuntikkan.
Menurut statistik, penggunaan obat suntik di kalangan mahasiswa sudah menurun
pada dekade terakhir ini. (Hutapea, 2014)
c. Bayi yang Dilahirkan oleh
Wanita atau Kencan Seksanya yang Menyuntik Obat
Di New York misalnya,
mayoritas anak-anak yang lahir dengan terinfeksi HIV mempunyai ibu yang
menggunakan obat suntik liar atau yang kencan seks dari ibunya berperilaku
demikian. (Hutapea, 2014)
d. Pekerja Seks
Pelacur yang
menyalahgunakan obat atau yang melakukan kegiatan seks tanpa alat pelindung
dengan tamu atau orang yang menyuntik obat menempuh resiko tinggi. Di beberapa
lokasi di Amerika seperti New York, New Jersey dan Miami, hampir separo dari
pelacur pinggir jalan ternyata mengandung HIV. (Hutapea, 2014)
e. Pria Pengunjung Tempat
Pelacuran
Tak ada data berapa banyak
kaum pria yang sering mengunjungi lokasi pelacuran atau yang berhubungan seks
dengan pelacur. Pada abad 19 di Amerika Serikat, banyak pria yang belum maupun
yang sudah menikah secara teratur mengunjungi rumah pelacuran, dan sering
sekali, bahkan sudah dianggap normal jika pengalaman pertama bagi seorang
pemuda adalah dengan seorang pelacur. Survei dari para remaja sekarang ini
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja pria muda yang memulai pengalaman
seksnya dengan pelacur. Pasangan-pasangan masa kini, setidaknya di negara itu
sudah tidak terlalu menuntut lagi keperawanan seorang calon pengantin
wanitanya, sehingga pemuda sekarang lebih ingin melakukannya dengan pacarnya daripada
seorang pelacur. Ketakutan akan penyakit kelamin menular, terutama AIDS, juga
berperan dalam mengurangnya kunjungan padapelacur ini. (Hutapea, 2014)
Seks denga pelacur
dianggap sebagai faktor yang paling penting penting dalam transmisi
heteroseksual dari HIV di Afrika, di mana virus itu menyebar terutama karena
hubungan heteroseksual. Demikian juga suatu studi di Florida menunjukkan bahwa
kontak reguler dengan wanita pelacur jalanan merupakan faktor dalam transmisi
HIV pada pria Amerika. Pelacur menempuh resiko tertular dari tamu-tamunya,
terutama yang tidak yang tidak menggunakan kondom. (Hutapea, 2014)
a. Mengapa Sebagian Orang
Lebih Rentan ?
Salah satu misteri dari penularan HIV adalah bahwa tidak ada hubungan yang
jelas antara jumlah atau seringnya hubungan seks dengan pembawa HIV dan
besarnya kemungkinan terjadinya penularan. Biasanya resiko penularan bertambah
dengan semakin seringnya seseorang berhubungan seks, namun agaknya sebagian
orang lebih mungkin menularkan virus dibanding orang lain, dan sebagian orang
lebih rentan pula menerimanya dibanding kelompok lain. Ada orang yang tertular
HIV dengan hanya satu kali hubungan, tetapi ada pula orang yang baru tertular
sesudah berhubungan bertahun-tahun dengan mitra seksnya yang sudah terinfeksi.
(Hutapea, 2014)
Studi di Afrika, Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa adanya infeksi
penyakit menular kelamin lainnya kemungkinan berperan pada kerentanan seseorang
terhadap infeksi HIV. Penyakit seperti sifilis dan herpes genitalis biasanya
menimbulkan luka terbuka di daerah kemaluan. Luka lecet ini menjadi pintu masuk
bagi HIV ke dalamaliran darah. Penyakit kelamin lainnya seperti sifilis,
gonore, chiamidia, trichomonas dan genital warts dapat membuat daerah kemaluan
menjadi meradang. Peradangan ini dapat menambah resiko infeksi karena banyaknya
sel darah putih yang menuju daerah tersebut, sel yang biasanya menjadi sasaran
serangan HIV. (Hutapea, 2014)
Faktor lain yang dapat mempengaruhi resiko penularan adalah jumlah HIV di
dalam air mani, perilaku seks seseorang, dan sirkumsisi. Peneliti menduga bahwa
jumlah virus dalam air mani tidak tetap, biasanya meninggi hanya pada fase awal
dan lanjut dari infeksi. Perilaku seks seperti hubungan per anus mempermudah
masuknya virus karena adanya luka lecet pada dinding selaput lendir rektum.
Sirkumsisi atau bersunat adalah prosedur di mana kulup penis dihilangkan, suatu
kebiasaan religius pada kaum Islam dan Yahudi. Kelompok lain melakukannya demi
alasan kesehatan semata. Pria yang tak disunat dapat menempuh resiko infeksi
yang lebih tinggi karena lebih mungkin mengalami perlakuan kecil-kecil di
daerah penis dan karena virus dapat berlindung agak lama pada lipatan kulit
penis. Sel-sel tertentu pada kulup penis juga menguntungkan bagi infeksi HIV.
(Hutapea, 2014)
b. Mengapa Wanita Rentan
Tertular HIV/AIDS ?
Beberapa hal yang
menyebabkan wanita rentan tertular virus HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
(Irianto, 2014)
1) Berprilaku resiko tinggi
untuk penularan HIV, yaitu berganti-ganti pasangan seksual tanpa memakai
kondom, atau memakai jarum/alat suntik yang tercemar virus HIV.
2) Mempunyai pasangan yang
berperilaku resiko tinggi untuk penularan HIV, seperti berganti-ganti pasangan
seks tanpa menggunakan kondom. Data UNIDS menunjukkan, di Indonesia lebih dari
90% pria pelanggan pekerja seks tidak menggunakan kondom ketika berhubungan
seks. Ini menjadi salah satu penyebab mengapa wanita yang setia dengan satu
pasangan pun tetap beresiko tertular virus HIV. Penyebab lain, pasangan dari si
wanita adalah penyalah guna bahan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain
(napza) dengan cara suntik dan jarum suntik tidak disterilkan lebih dahulu.
3) Wanita juga rentan terkena
HIV akibat kekerasan seksual, seperti pemaksaan hubungan seksual (pemerkosaan),
hubungan seksa sedarah (inses), dan hubungan seks melalui dubur/anal yang mudah
menyebabkan luka pada selaput lendir dubur. Melalui luka itu virus HIV pada
sperma masuk ke dalam tubuh wanita.
4) Organ reproduksi yang
sudah terinfeksi penyakit menular seksual, baik pada penis maupun vagina,
biasanya mengalami luka. Luka ini memudahkan HIV masuk ke dalam darah bila
pasangan pria tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks.
5) Organ reproduksi wanita
lebih rentan tertular HIV dibandingkan organ reproduksi pria karena berada di
bagian dalam tubuh. Bagian dalam vagina berselaput lendir dan memiliki
lipatan-lipatan yang membuat penampang vagina menjadi lebih luas sehingga lebih
rentan terinfeksi HIV dibanding organ reproduksi pria. Hubungan seksual melalui
vagina disertai kekerasan berpotensi menimbulkan luka pada organ reproduksi
wanita. Luka itu menjadi pintu masuk bagi HIV yang berada dalam cairan sperma
ke tubuh wanita. Statistik memperlihatkan, wanita 2-4 kali lebih rentan
tertular HIV/AIDS dibandingkan pria.
BAB III
PENUTUP
Virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus)
adalah sejenis retrovirus. Ada 2 (dua) tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS,
yakni HIV-1 dan HIV-2. Perjalanan infeksi HIV yang khas menghabiskan
waktu sekitar satu dasawarsa. Stadium-stadium yang terjadi antara lain infeksi
primer, penyebaran virus ke organ-organ limfoid, masa laten klinik, timbulnya
ekspresi HIV, penyakit klinik, dan kematian. Lama waktu antara infeksi primer
dan perkembangan penyakit klinik rata-rata sekitar 10 tahun. Kematian biasanya
terjadi dalam 2 tahun setelah mulai timbul gejala klinik. Virus HIV menular melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS, ibu pada bayinya, melalui darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS, pemakaian alat kesehatan
yang tidak steril, alat-alat untuk menoreh
kulit, menggunakan jarum suntik secara bergantian.
HIV/AIDS lebih rentan menghampiri kaum wanita karena perilaku seks yang
tidak sehat. Berikut adalah perilaku berisiko
tinggi
tertular HIV :
a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam hubungan
seksual.
b. Wanita dan pria tuna susila, serta pelanggan mereka.
c. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar,
seperti hubungan seks melalui dubur (anal) dan mulut misalnya pada homo seksual
dan biseksual.
d. Penggunaan narkotika dengan suntikan, yang menngunakan jarum suntik
secara bersama (bergantian).
e. Penyalahgunaan narkotika dengan perilaku lainnya.
Pembuatan makalah ini
sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan sumber yang kami peroleh.
Sehingga isi dari makalah ini masih bersifat umum, oleh karena itu kami harapkan agar pembaca
bisa mecari sumber yang lain guna membandingkan dengan pembahasan yang kami buat, guna mengoreksi
bila terjadi kelasahan dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kunoli,
Firdaus J. 2013. “Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular : Untuk Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat”. Jakarta : CV. Trans Info Medika.
Hutapea,
Ronald. 2014. “AIDS & PMS dan Pemerkosaan”. Jakarta : Rineka Cipta.
Irianto,
Koes. 2014. “Bakteriologi, Mikrologi, dan Virologi : Panduan Medis dan
Klinis”. Bandung : Alfabeta.
Nursalam
dan Ninuk Dian Kurniawati. 2011. “Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS”. Jakarta : Salemba Medika.
Sastrawinata, Ucke Sugeng. 2008.
“Virologi Manusia Jilid 2”. Bandung : PT. Alumni.
Widoyono.
2011. “Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya”. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Izin kutip di artikel Kontribusi Sektor Pertambangan Bagi Penyakit HIV
BalasHapus